Njoto dan tragedi G30S
(Diambil dari edisi khusus TEMPO 5-11 Oktober 2009)
Jalan Curam Skandal Asmara
Karier politik Njoto hampir tamat karena perempuan. Jabatannya di partai
dilucuti.
JOESOEF Isak mengetahui rahasia sahabatnya, Njoto, dari sumber tak
terduga. Ketika itu, pada 1968, mantan Pemimpin Redaksi Harian Merdeka
itu ditahan di Blok R Rumah Tahanan Salemba, Jakarta. Suatu hari,
tahanan politik di blok sebelah melemparkan buku kecil ke selnya.
Tetangga sebelah itu, Sugi, adalah mantan anggota Comite Central Partai
Komunis Indonesia. Rupanya Sugi dengan tekun menjahit kertas rokok
menjadi buku kecil. Di buku itu dia menuliskan kisah ”pengadilan” Njoto
oleh pimpinan kolektif PKI, pada 1964.
Sebagai anggota CC, Sugi turut mengadili Njoto. Di sidang itu, Njoto,
yang menjabat Wakil Ketua II CC PKI, diputuskan bersalah dan dijatuhi
sanksi skorsing. Semua jabatannya di partai dilucuti.
Sugi, saat itu 70 tahun, memaksakan diri memanjat pohon ceri supaya bisa
memberikan buku itu kepada Joesoef. ”Saya tanya, ’Kenapa Pak Sugi
menyampaikan ini pada saya?’,” Joesoef bercerita. ”Dia bilang, ini harus
ditulis, dan dia memilih saya karena saya wartawan.”
Karena itulah Joesoef yakin, Njoto tak mengetahui pembunuhan enam
jenderal Angkatan Darat oleh Gerakan 30 September. Sebetulnya, Njoto
bisa lepas tangan dari Gerakan lantaran tak lagi menjabat posisi
strategis di partai. ”Tapi dia memikul semua, seolah olah ikut serta,”
ujar Joesoef.
Ketika diwawancarai Risuke Hayashi dan Takehiko Tadokoro, koresponden
harian Jepang, Asahi Shimbun, di Jakarta, dua pekan sebelum hilang,
Njoto masih gigih membela partainya. Menurut Njoto, pimpinan Partai
Komunis sama sekali tak mengetahui soal Gerakan 30 September. Dia
mengatakan, di mata partainya, Gerakan itu merupakan masalah internal
tentara.
Bahkan, kata Njoto, ketika peristiwa pembunuhan para petinggi TNI
Angkatan Darat itu terjadi, dia sedang bersama Wakil Perdana Menteri I
Soebandrio dan sejumlah petinggi Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan
Kepolisian berkeliling Sumatera. Mereka baru tahu soal Gerakan itu
ketika berada di Pangkalan Brandan, Sumatera Utara. ”Kami sama sama
terenyak,” katanya kepada Asahi Shimbun.
*l l l*
DI antara empat tokoh kunci PKI D.N. Aidit, M.H. Lukman, Njoto, dan
Sudisman Njoto paling muda. Pada usia 19 tahun, dia sudah mewakili PKI
Banyuwangi di Komite Nasional Indonesia Pusat. Tak terang benar, sejak
kapan sebenarnya Njoto bergabung dengan Partai Komunis, dan siapa yang
mempengaruhinya. ”Dia belajar diam diam,” kata Sri Windarti, adik Njoto.
Tokoh tokoh muda di Partai Komunis ketika itu berhasil menggusur
pemimpin sepuh, seperti Tan Ling Djie, Alimin, Wikana, dan Ngadiman
Hardjosubroto, serta mengambil alih kepemimpinan partai. Aidit menjabat
Ketua, Lukman menduduki posisi Wakil Ketua I, Njoto sebagai Wakil Ketua
II, dan Sudisman mengisi kursi Sekretaris Jenderal.
Sebagai Wakil Ketua II, Njoto bertanggung jawab atas Departemen Agitasi
dan Propaganda. Lewat Harian Rakjat dan majalah teori Bintang Merah,
Njoto menghajar” lawan lawan politiknya. Sebaliknya, lewat kolom
Catatan Seorang Publisis” di Harian Rakjat, Iramani nama pena Njoto
tampil lebih lembut dan ”sastrawi”.
Salah satu polemik paling keras terjadi antara Harian Rakjat melawan
Merdeka pada Juni hingga Juli 1964. Harian Rakjat, misalnya, memuat
tulisan panjang bertajuk ”Merdeka Sudah Jelas Sekali Membela Tuan
Tanah”. Lewat tulisannya itu, Harian Rakjat menangkis tudingan Merdeka
yang menganggapnya ”kaum rebelli”. Silat pena itu baru berakhir setelah
Jaksa Agung Soeprapto turun tangan.
*l l l*
PEREMPUAN itu bernama Rita. Anak Rusia ini penerjemah untuk tokoh tokoh
PKI yang sedang melawat ke Negeri Beruang Merah tersebut. Sedemikian
serius kisah asmara Njoto dengan Rita, hingga hampir berujung ke ranjang
pengantin. Padahal, ketika itu Njoto sudah beristrikan Soetarni.
Niat Njoto meninggalkan Soetarni tentulah membuat Partai gerah. Comite
Central PKI, menurut Semaun, sebenarnya sudah berkali kali
memperingatkan Njoto, supaya memutuskan hubungan dengan Rita. ”Hubungan
mereka bisa mencemarkan citra Partai,” ujar Semaun.
Selain soal citra, mantan anggota Comite Central PKI, Rewang, mengatakan
pimpinan PKI curiga Rita merupakan agen Partai Komunis Uni Soviet,
sehingga hubungan itu bisa membahayakan partai. Sidang partai akhirnya
digelar untuk membahas masalah tersebut.
Njoto dicecar dari berbagai penjuru. ”Suasana sidang itu panas sekali,”
kata Joesoef Isak. Dia mendapatkan cerita dari Sugi, anggota Comite
Central yang hadir dalam rapat itu. ”Tapi Njoto sangat terbuka. Semua
pertanyaan dia jawab.” D.N. Aidit akhirnya turun tangan, meminta waktu
berbicara empat mata dengan Njoto.
Hampir dua jam mereka berbicara dan membiarkan peserta sidang menunggu.
Njoto, yang semula ngotot, akhirnya bersedia mengubur niatnya. Aidit dan
Njoto berpelukan. Namun keputusan sidang soal disiplin partai tetap tak
bisa ditawar. Njoto dijatuhi skorsing dan sementara melepaskan berbagai
jabatannya di partai. Sanksi ini rencananya akan disahkan dalam Kongres
Partai pada 1965.
Tapi hubungan Njoto dengan Aidit sama sekali tidak berubah,” kata
Rewang. Njoto tetap aktif mengikuti pertemuan partai, termasuk rapat
rapat menjelang September 1965. Bahkan Njoto pulalah yang membawa surat
Aidit dan membacakannya di sidang kabinet beberapa hari setelah
peristiwa pembunuhan enam jenderal.
Menjelang tumbangnya PKI, memang santer beredar kabar perbedaan jalan di
antara pucuk pimpinan PKI, yakni D.N. Aidit, Njoto, dan Sudisman. Haluan
politik Aidit semakin dekat dengan Partai Komunis Cina ketimbang ke Uni
Soviet.
Dalam pleidoi di depan Mahkamah Militer Luar Biasa, dan juga
otokritiknya terhadap partai (keduanya ditulis setelah Gerakan 30
September), Sudisman menilai Aidit sudah menyeret partai pada
petualangan atau avonturisme. Dukungan pemimpin partai terhadap Gerakan
30 September, menurut Sudisman, tidak didasari kesadaran dan keyakinan
massa.
Njoto dianggap sudah kelewat dekat dengan Soekarno. Ketika berpidato di
Palembang, pada 1964, isi pidatonya dianggap lebih Soekarnois ketimbang
Marxis. ”Itu titik awal Njoto dianggap punya jalan sendiri,” ujar
seorang mantan wartawan Harian Rakjat.
Rewang, mantan anggota Comite Central PKI, mengakui perbedaan sikap
antara Aidit, Njoto, dan Sudisman. Namun Semaun Utomo, mantan Ketua
Lembaga Sejarah Comite Central PKI, meragukan kabar tersebut. Pimpinan
partai, kata Semaun, hanya berbeda pendapat, tapi tidak sampai pecah.
Kabar itu omong kosong,” kata Joesoef Isak. ”Njoto mengagumi Aidit, dan
Aidit mencintai Njoto hingga saat-saat terakhir.”
* * *